Badminton: not as bad as the words but very Badass. seriously disbelieve ?. just try it [PART 2]

 [FLASHBACK]

Teringat sewaktu bocil sekitar kelas 5 SD, bermain badminton punya banyak kenangan tersendiri. dikala papan triplek menjadi pengganti raket, dan shuttlecock a.k.a "Bulu" bekas yang digunakan berulang kali  :v  pokoknya parameter ketika tidak bisa digunakan lagi saat "Bulu" tersebut sudah tidak seimbang terkena angin, tidak hanya itu kayu atau tali rafia menjadi pengganti net

masih teringat aturan yang saya mainkan saat itu: 1.aturan tidak boleh SMASH dan DRIVE yang cepat ke badan 2. ada istilah *tes badan, *tes net, dan *tes raket. tes digunakan untuk memberikan kesempatan pemain lain yang mau main supaya tidak capek jadi ganti-gantian mainnya gitu, *)tes badan berlaku ketika pemain badan pemain terkena "bulu" saat permainan sedang berlangsung, tapi hal tersebut tidak berlaku saat SMASH atau DRIVE yang cepat ke badan (poin 1), *)tes net ketika "bulu" tidak sampai ke daerah lawan *)tes raket ketika "bulu" mengenai sayap sehingga tidak kembali ke daerah lawan. aturan ini berlaku tergantung siapa yang main dan kesepakatan bersama hehe.

nostalgia saat kecil juga saat pertama kali memegang raket asli bukan raket yang terbuat dari triplek saat SD kelas 6, awalnya saat digunakan terasa sulit tetapi lama kelamaan jadi terbiasa. mungkin pengalaman berharga saat ikut sekolah badminton PB di komples selama 1 tahun, memainkan raket dengan teknik dasar dan pelatihan fisik yang menguras tenaga. hal yang bisa saya dapat dari 1 tahun tersebut ternyata bola Lob ataupun SMASH tidak semudah yang saya kira saat liat di TV dibandingkan realita saat mempelajari teknik tersebut, perlu footwork dan ayunan raket tertentu yang mempengaruhi hal tersebut. malah sempat ketika saat main PB tersebut punya mimpi menjadi pemain Badminton profesional.

hal tersebut berubah ketika arahan fokus berubah menjadi ke akademis saat kelas 6 SD menjelang UN dan orang tua juga kurang merestui hal tersebut, orang tua merespon dengan bilang atlet di indonesia kurang sejahtera kalau bahasa kasarnya sih miskin, setelah dipikir-pikir hal tersebut ada benarnya. kenyataan yang berbeda atlet yang dulu dengan yang sekarang, kalau sekarang sih mungkin atlet lebih sejahtera dalam tatanan sosial asalkan dengan usaha dan kerja keras dari individu atlet masing-masing, mungkin juga ini juga kesalahan diri pribadi saya yang kurang bertekad mewujudkan mimpi tersebut terjebak dalam ilusi kesenangan zona nyaman yang berlarut-larut saat SD yang tidak memproyeksikan hobi menjadi suatu semangat untuk karir maupun pekerjaan kedepannya.

[REALITA]
banyak yang mengira menjadi pemain badminton profesional merupakan hal yang mudah nyatanya tidak, Debby Susanto yang merupakan atlet badminton ganda campuran yang pernah berpasangan dengan Jordan Praveen yang sama-sama meraih gelar All England 2016  pernah mengungkapkan menjadi atlet tidak semudah yang orang pikir, ia rela merantau ke Jakarta setelah lulus SMP saat itu demi mengikuti audisi dan sempat tinggal di asrama, di asrama Debby ngak punya banyak teman dan terkadang menyendiri, biaya asrama dan ikut pertandingan dia dan orang tuanya yang tanggung padahal orang tua Debby bukan golongan orang kaya 
"Padahal aku ingat banget saat itu cuma pegang uang Rp.2000. untuk beli mie ayam gerobak saja kurang, jadi waktu beli makan terkadang abangnya baik kasih setengah bahkan gratis" ujar Debby

Pengalaman salah satu atlet badminton tersebut menjadi cerminan atlet di indonesia atau bahkan badminton yang kurang sejahtera dalam tatanan sosial masyarakat, terkadang butuh kerja keras dan pengorbanan untuk mewujudkan hal tersebut baik dari segi biaya dan tekad yang kuat. 

 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jikoshoukai 自己紹介

Compulsive Shopping Disorder and How to Solve them

Manfaat Badminton Untuk Kesehatan